TUJUAN SYARI’AT ISLAM
Oleh : Dr. H. Abdur Rokhim Hasan, MA
Tujuan Allah SWT. menciptakan manusia adalah
untuk beribadah kepada-Nya, (al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56). Allah SWT.
memerintahkan manusia beribadah, bukanlah untuk kepentingan Allah SWT, akan
tetapi untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebab seandainya
seluruh manusia tidak beribadah kepada-nya, semua manusia kafir, maka Allah
SWT. tidak rugi, sebaliknya seandainya seluruh manusia beribadah dan bertaqwa
kepada-Nya, hal tersebut, juga tidak akan menambah keuntungan Allah SWT.
sebagaimana Allah SWT. jelaskan dalam Hadits Qudsi :
عن أبى ذر عن النبي صلى الله عليه و سلم عن الله تبارك وتعالى قال :.........
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ
كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى
مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ
مُلْكِى شَيْئًا(رواه البخاري و مسلم )
“Dari Abu Dzra Al-Ghifari, dari Rasulullah SAW.
dari Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman : wahai hamba-hambaku seandainya
kamu semua dari uamt dahulu sampai akhir, dari golongan jin dan manusia,
semuanya satu hati bertaqwa kepada Allah SWT., maka hal itu tidak akan menambah
kerajaan Allah SWT. wahai hamba-hambaku seandainya kamu semua dari umat dahulu
sampai akhir, dari golongan jin dan manusia, semuanya satu hati durhaka kepada
Allah SWT., maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah SWT.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
al-Qur’an Allah SWT. banyak menjelaskan tujuan-Nya memerintahkan manusia
beribadah, agar manusia bertakwa, di antaranya ;
1.
Tujuan
beribadah agar manusia bertakwa ; al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 21.
2.
Tujuan ibadah puasa
agar manusia bertakwa ; Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 183.
3.
Tujuan ibadah
Haji agar manusia bertakwa al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 197.
4.
Tujuan ibadah
Qurban agar manusia bertakwa, al-Qur’an surat Al-Hajj: 37.
Manusia bertakwa adalah manusia yang memiliki
kepribadian yang baik. Ketika manusia memiliki kepribadian yang baik, maka akan
melahirkan dan menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia dan alam
sekitarnya.
Ibadah dengan pengertian yang luas, adalah
merupakan syar’at. Allah SWT. menetapkan ibadah shalat, ibadah puasa, ibadah
zakat, ibadah haji, dan lain-lainnya, dan ini adalah merupakan peraturan dari
Allah SWT. dalam melaksanakan ibadah ada aturan-aturan yang ditetapkan agar
ibadah menjadi berkualitas. Syariat
Islam adalah peraturan hidup yang datang dari Allah ta’ala, ia adalah pedoman
hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman hidup ia memiliki tujuan utama
yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia. Dalam ruang
lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut dengan maqashid as-syari’ah yaitu
maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid
syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’
dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki
dan dimaksudkan.[1]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat
juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[2]
Di dalam Alqur’an Allah
SWT. menyebutkan beberapa kata “syari’ah” diantaranya adalah:
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ
عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ
ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al-Jatsiyah: 18).
Juga ayat
berikut ini :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟
فِيهِ
“Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. (QS. Asy-Syuura: 13).
Dari dua ayat di atas bisa
disimpulkan bahwa “syariat” sama dengan “agama”, namun dalam perkembangan
sekarang terjadi reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk
dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang
dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut
al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh
Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan,
dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh
kehidupan.
Maqashid Syariah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam
setiap aturannya. Imam Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan
fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه
الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
Pada bagian lainnya
beliau menyebutkan:
الاحكام
مشروعة لمصالح العباد
“Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”
Al- Syatibi mendefinisikan
Maqashid Syariah yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia
baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi
maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam.
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya maka Maqashid Syari’ah adalah maksud dan tujuan
disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah
sebagai berikut:
المقاصد
العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم
وتحسناتهم
Maqashid Syari’ah secara Umum adalah:
kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.
Kesimpulannya bahwa Maqashid
Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran
syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan
oleh Allah ta’ala terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah
satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di
dunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).
Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi
kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat
(sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).
Secara umum tujuan
syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia
seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemashlahatan di akhirat. Hal ini
berdasarkan Firman Allah ta’ala:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ
إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS. Al-Anbiya: 107.
Apabila dipelajari
secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Al-Quran
dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan hukum
Islam. Sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain,
tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun
jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan
dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu
Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni:
1.
Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)
2.
Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3.
Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal)
4.
Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5.
Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)
Kelima tujuan hukum
Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al khamsah atau
al-maqasid al- shari’ah.
Tujuan hukum Islam
tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni (1) segi Pembuat Hukum Islam yaitu
Allah dan Rasul-Nya. Dan (2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana
hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum Islam tujuan hukum Islam itu
adalah: Untuk memelihara keperluan hidup manusia yang bersifat primer,
sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut
dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat. Kebutuhan primer
adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh
hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia bener-benar terwujud. Kebutuahan
sekunder adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan primer,
seperti kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang
eksistensi kebutuahan primer. Kebutuahn tersier adalah kebutuhan hidup manusia
selain yang bersifat primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara
untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan,
perumahan dan lain-lain.
Tujuan hukum Islam
adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya
sehari-hari. Agar dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia
wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya.
Di samping itu dari
segi pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk
mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Caranya adalah, dengan mengambil
yang bermanfaat, mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan kata
lain tujuan hakiki hukum Isalm, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya
keridaan Allah dalam kehidupan manusia di bumi ini dan di akhirat kelak.
a. Memelihara Agama
Pemeliharan agama
merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan
pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah
yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan
sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam
berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka
hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
Beragama merupakan
kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena
agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Allah memerintahkan kita untuk
tetap berusaha menegakkan agama, firmannya dalam surat Asy-Syura’: 13:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى
ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن
يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa
yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu
dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)”
(Q.S. Asy-Syura : 13)
b.
Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam
melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas
(pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang
sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang
dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh
itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal ini dapat
kita jumpai dalam firman Allah Swt dalam QS Al-Baqarah ayat 178-179 yang
berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ
وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ
أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ
ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ
ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ . وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada
yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa”
(Q.S. Al-Baqarah : 178-179)
b.
Memelihara akal
Manusia adalah makhluk
Allah ta’ala, ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama,
Allah S ta’ala telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,
dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain. Hal
ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala sendiri dalam Al-Quran At-Tiin Ayat 4
berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا
ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”(Q.S.
At-Tin : 4) .
Akan tetapi bentuk yang
indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh
karena itu Allah ta’ala melanjutkan Firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 5 dan 6
yang berbunyi :
ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ
أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍۢ
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka
pahala yang tiada putus-putusnya (Q.S. At-Tin : 5).
Jadi, akal paling
penting dalam pandangan Islam. Oleh karena itu Allah ta’ala selalu memuji orang
yang berakal. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah ta’ala dalam Q.S.
Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi :
إِنَّ فِى خَلْقِ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ
ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ
ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا
مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan(Q.S.
Al-Baqarah : 164).
d. Memelihara Keturunan
Perlindungan Islam
terhadap keturunan adalah dengan mensyariatkannya pernikahan dan mengharamkan
zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara
perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga
perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan
jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan
tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada
zina.
Sebagaimana firman
Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”( Q.S An-Nisa: 3-4).
Juga
firman Allah SWT. berikut ini :
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ
صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا
فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya” (Q.S.
An-Nisa’ : 4)
a.
Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Islam meyakini bahwa
semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk
memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga mengakui hak pribadi
seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda,
sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba
dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya,
harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang
dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam
terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن
تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًۭا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisa: 29-32)
وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ
عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى
ٱللَّهِ يَسِيرًا
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.
(Q.S. An-Nisa: 30)
Juga
firman Allah SWT. :
إِن تَجْتَنِبُوا۟
كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم
مُّدْخَلًۭا كَرِيمًۭا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa
yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (Q.S. An-Nisa: 31)
Juga
firman Allah SWT.
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟
مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ
مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ
وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ
مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(Q.S. An-Nisa: 32)
Kesimpulan
1.
Syari’at Islam adalah aturan-aturan
yang ditetapkan oleh Allah SWT. Untuk dilaksanakan oleh manusia.
2.
Tujuan syari’at islam adalah untuk
menata kehidupan manusia agar tercipta kehidupan yang baik demi terciptanya
kemaslahan dalam kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.